![]() |
Profil Rohingya Salvation Army |
Rohingya merupakan nama suku bangsa yang tinggal di
negara Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi (788M).
Rohingya ini berasal dari kata "Rohan"
atau "Rohang" yang merupakan nama kuno dari "Arakan".
Sehingga orang yang mendudukinya disebut " Rohingya".
Mengutip buku 'Rohingya: Suara Etnis yang Tidak
Boleh Bersuara', banyak orang Rohingya yang merupakan keturunan orang campuran
Arab dan warga lokal, sehingga ketika nama "Rohan" cukup populer di
kalangan musafir Arab bahkan jauh sebelum Islam masuk ke Arakan.
Arakan sendiri adalah nama dari kerajaan Bengal di
sisi timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang dikenal sejak abad ke 8
Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union Myanmar pada 1948
berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, Islam (pada abad 15-18 M), dan
Buddhist.
Saat ini Arakan adalah negara bagian dari Union of
Myanmar yang letaknya di sisi barat laut Myanmar yang berbatasan dengan
Bangladesh. Nama Arakan berubah menjadi "Rakhine" pada tahun 1930 dan
belakangan ini disebut juga "Rakhaing". Nama "Rakhine"
merujuk pada etnis Rakhine Buddhist, sehingga istilah "Rakhine" tidak
mewakili etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam.
Warga Rohingya saat ini diprediksi sekitar 1.5 juta
- 3 juta jiwa. Jumlah tersebut semakin lama semakin berkurang karena banyak
orang Rohingya yang mengungsi dan mencari tempat hidup ke negeri seberang
dengan menjadi 'manusia perahu', sedangkan mereka yang bertahan di Arakan tidak
sedikit yang menjadi korban 'pembersihan etnis'.
Mengutip Al Jazeera konflik etnis yang terjadi di
Myanmar telah membuat pengungsi Rohingya angkat kaki ke berbagai negara. Di
Tengah polemik tersebut, muncul kelompok bersenjata yang menamakan diri mereka
sebagai Arakhan Rohingya Salvation Army atau Tentara Solidaritas Rohingya
Arakan (ARSA).
Arakhan Rohingya Salvation Army yang sebelumnya
dikenal sebagai Harakatul Yakeen, pertama kali muncul pada bulan Oktober 2016
ketika menyerang tiga pos polisi di kotapraja Maungdaw dan Rathedaung yang
menewaskan sembilan petugas polisi.
Kelompok ini dipimpin oleh
Ataullah Abu Ammar Jununi atau yang lebih dikenal sebagai Ataullah. Pembentukan
ARSA sendiri terjadi setelah konflik di Rakhine pada 2012 silam, tepatnya
ketika warga muslim Rohingya mulai bentrok dengan warga Hindu.
Warga Rohingya yang tinggal di
kotapraja Maungdaw mengatakan bahwa orang-orang tersebut yang berjumlah hanya
beberapa menyerbu pos-pos dengan tongkat dan pisau dan setelah membunuh para
petugas mereka melarikan diri sambil membawa kabur sejumlah senjata.
Setelah terjadi penyerangan
tersebut, ARSA merilis sebuah video sebagai pesan kepada pemerintah Myanmar.
Dalam video berdurasi 18 menit tersebut, Attaullah yang memimpin ARSA memberi
peringatan agar pemerintah berhenti melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Attaullah menjelaskan selama 75
tahun telah terjadi berbagai kejahatan dan kekejaman yang dilakukan terhadap
Rohingya. Itu mengapa mereka melakukan serangan pada 9 Oktober 2016 sebagai
pesan bahwa jika kekerasan tidak dihentikan, mereka berhak membela diri.
Sejak saat itu, ARSA terus
melakukan aksinya dengan skala yang lebih besar. Pada 25 Agustus 2017, ARSA
menyerang komunitas Hindu di sebuah desa bernama Kha Maung Seik yang terletak
di Maungdaw utara.
Melansir laporan Amnesty, total
korban yang dieksekusi oleh ARSA ada 53 orang. Korban terdiri dari 20 pria, 10
wanita, dan 23 anak-anak bahkan 14 diantaranya masih berusia 8 tahun ke bawah.
Masih di tanggal dan hari yang
sama, 46 orang Hindu di desa yang bernama Ye Bauk Kyar tiba-tiba menghilang dan
tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Mulai munculah asumsi bahwa mereka juga
menjadi korban keganasan ARSA.
Penasihat Pusat Studi Ekstremisme
Eropa yaitu Maung Zarni mengungkapkan bahwa ARSA bukanlah teroris yang
bertujuan untuk menyerang jantung masyarakat Myanmar melainkan ARSA lahir
akibat dari kekerasan atau genosida yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap
Rohingya.
Aziz Khan seorang Rohingya yang
tinggal di kotapraja Maungdaw mengatakan bahwa militer dan pemerintahan sipil
melakukan ‘penyebaran rasa takut’ dan ‘tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
kelompok tersebut memiliki hubungan dengan kelompok teroris mana pun’.
Aziz Khan juga menjelaskan bahwa
orang-orang yang tergabung di ARSA tidak mempunyai perlengkapan yang baik.
Mereka hanyalah memiliki tongkat, pedang dan senjata yang mereka sita dari
pos-pos militer dan tidak ada bom.
ARSA mengatakan bahwa kelompoknya
tidak memiliki hubungan dengan al-Qaeda atau organisasi paramiliter yang
bertujuan mengurangi pengaruh luar terhadap kepentingan Islam, Negara Islam
Irak dan Levant (ISIS), Lashkar-e-Taiba atau kelompok teroris lainnya.
Maung Zarni berpendapat bahwa ARSA bukan gerakan separatis atau kelompok yang menginginkan negara Islam. Mereka hanya menginginkan kesetaraan etnis dan perdamaian. Pendapat Maung Zarni ini pun didukung oleh Direktur Program Asia di ICG, Anagha Neelakantan, yang menyebutkan bahwa ARSA hanya sedang berjuang melindungi etnis Rohingnya dan tidak ada maksud lain.
Diterbitkan di Okezone pada Kamis, 7 Desember 2023
Posting Komentar